Sabtu, 21 Agustus 2010

BENARKAH TERDAPAT KESALAHAN PENULISAN DALAM AL-QUR’AN ?

BENARKAH TERDAPAT KESALAHAN DALAM AL-QUR’AN ?
Oleh Drs. Rik Suhadi S Th I Sekret. PDM Bangkalan

Didalam al-Qur’an ada tiga ayat yang memuat tentang kalimat “As-shaabiuun” atau as-shaabiin “ . tepatnya pada QS. Al-Baqoroh ayat 62, QS. Al-Maidah ayat 69 dan QS. Al-Hajj ayat 17 , ayat  ini sejak lama sering dijadikan perdebatan , bahkan akhir-akhir ini ayat yang memuat kalimat As-Shaabiin dan As-Shaabiuun ini mulai dipersoalkan oleh orang-orang diluar Islam. Mereka menganggap bahwa al-Qur’an terutama tiga ayat yang memuat kalimat as—Shaabiuun dan as-Shaabiin tersebut terdapat kesalahan. Mereka menilai adanya ketidak samaan penulisan dan bacaan terutama pada QS Al- Maidah ayat 69 .   Tiga ayat tersebut dalam Qur’an adalah :

Pertama Al-Qur’an Surat al-Baqoroh : 62
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Kedua : Al-Qur’an Surat al-Maidah : 69

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ 

Ketiga : Al-Qur’an Surat Al-Hajj : 17
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Pendapat pendapat Tentang Shaabiuun

Sebelum membahas tentang perbedaan penulisan, bacaan dan kedudukan kalimat pada ayat-ayat tersebut ada baiknya  kalau terlebih dahulu kita menyimak berbagai pendapat Ulama tentang “ Shabiuun “,  diantaranya adalah :

Mujahid :
“ Shaabiuun” adalah kaum, atau nama yang diberikan kepada suatu kaum , diantara majusi, yahudi dan nasrani, mereka tidak  termasuk agama tetapi hanyalah kaum. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abi Najih . dan  dari ‘Atho’ , Said bin Jabir , Abu .Aliyah, Robi’ bin anas, As-Sudy, Abu Sya’tsa’, Jabir bin zaid Dhahhak dan Ishak  bahwa : Shaabiuun  itu adalah sempalan Ahli kitab dan mereka ini membaca Zabur

Ibnu Jarir  :                     
Menjelaskan bahwa  mereka shalat lima kali menghadap kiblat

Abu Ja’far ar-Razi   :
Mereka adalah kaum yang menyembah malikat dan shalat menghadap kiblat dan mereka membaca zabur.

Ibnu Abi Hatim   :    
Mereka adalah kaum yang berasal dari Irak, mereka beriman kepada seluruh nabi-nabi mereka berpuasa sekali setahun selam 30 hari , Shalat menghadap Yaman, sehari lima kali.

Umar     :              
Mengatakan bahwa mereka termasuk Ahli –Kitab, bahkan umar berpendapat bahwa sembelihan Shaabiiin sama dengan sembelihan ahli-Kitab.

Ibnu Abbas      : 
Menyatakan bahwa sembelihan mereka tidak halal, perempuan-perempuan mereka haram dinikahi

Al-Kalaby    :   
menyatakan bahwa mereka adalah “kaum” antara Yahudi  dan     Nasrani .

Qotadah  :              
adalah kaum yang membaca zabur dan menyembah malaikat, mereka shalat menghadap kiblat yang lain  dan mengingkari Allah .

As’ad Huumud   :
Mereka ( As-Shaabiuun ) adalah manusia yang menyembah bintang-bintang dan mensucikan malaikat.
Disim,pulakan bahwa “ Shaabiuun “ bukanlah “Agama” tetapi “ sebuah Kaum” keluar / menyimpang dari kalangan ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ) terhadap agama mereka, dan menyembah bintang atau malaikat.

Perbedaan Qira’at
Pada surat al-Baqoroh ayat 62, tertulis الصَّابِئِينَ   dalam keadaan Nashab setelah kalimat النَّصَارَى . pada surat al-Maidah tertulis الصَّابِئُونَ dalam keadaan rofa’ sebelum kalimat النَّصَارَى , sedangkan pada Surat al-Hajj ayat 17 tertulis الصَّابِئِينَ dalam keadaan Nashab sebelum kalimat َالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ, dimana sesungguhnya letak perbedaannya ?

Ahlul Madinah  :
membaca kalimat الصابئين dan الصّابئون ini dengan meninggalkan huruf hamzahnya  sehingga terbaca “الصّابين والصّابون dalam banyak mushaf Qur’an. Sedangkan  orang –orang yang tetap membaca dengan hamzah mereka beralasan bawa kalimat itu berasal dari : يصبوا صبوءاً  صبا

Abu Ja’far    :
berpendapat, bahwa kalimat الصابئون itu jama’ dari "صابئ dan merupakan kata pecahan  : seperti :  صبأ الرجل يصبأ صبواً" dikatakan kepada seseorang  ketika seseorang keluar atau pindah dari satu agama ke agama yang lain .

Ibnu Abbas     :
menyatakan bahwa tidak ada kalimat الصابُون itu, yang ada hnayalah الصابئون, tidak ada kalimat الخاطون itu melainkan الخاطِئون

Al Jumhur  :   
 membacanya dengan hamzah seperti : صَبَأَ نابُ البعير أي : خَرَجَ  وصَبَأَتِ النجومُ : طَلَعت                                       
Pada  surat al-Maidah : 69 , al-Jumhur membacanya dengan واو  (wau),  merofa’ kannya, sebagaimana mushaf-mushaf al-Amshor.

Al-Kholil , Sibaweh ( Ulama Basrah) dan orang-orang  yang mengikutinya  :
Merofa’kannya , dengan alas an kalimat الصابئون pada Al-Maidah : 69 tsb , posisinya adalah mubtada’ dengan khobar makhduf ( tak disebut/terbuang ) , untuk menunjukkan bahwa kalimat tersebut adalah sebagai khobar-awal dengan maksud atau sekaligus sebagai khobar akhir, dengan kejelasan sbb :
كذلك إنَّ الذين آمنوا والذين هادُوا مَنْ آمنَ بهم إلى آخره والصابئون
Sebagai contoh : إن زيداً وعمروٌ قائمٌ  maksudnya
إنَّ زيداً قائم وعمرو قائم  jika seperti ini maka yang mahduf ( terbuang) adalah قائم  yang awal atau sebaliknya

Az-Zamakhsyari :  sependapat dengan Sibaweh , dia menyatakan :
والصابئون : رفعٌ على الابتداء ، وخبرُه محذوفٌ ، والنيةُ به التأخير عمَّا في حَيِّز » إنَّ « من اسمها وخبرها ، كأنه قيل : إنَّ الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى حكمُهم كذلك والصابئون كذلك
Bani Harits dan lainnya, :
 أنَّ » الصابئون « منصوبٌ  menyatakan dalam keadaan nashab ( ini hanya terjadi pada Bani harits ) .  Mereka menjadikan Alif tatsniyah dalam semua kondisi sebagai ganti dari Rofa’ Nashab dan jar, begitu juga waau tanda rofa’ isim jamak salim mereka tetapkan dalam keadaan nashab dan Jarr  sebagaimana tetapnya alif . contoh: رأيت الزيدان ومررت بالزيدان. ( pendapat ini sementara dianggap Dhoif )

Pendapat lain :
 أنَّ علامةَ النصبِ في « الصابئون » فتحةُ النون  Bahwa tanda fathah pada huruf nun (ن )  adalah alamat Nashab. Nun (ن ) adalah hurub I’rob ( terpengaruh ) sebagai contoh : الزيتون » و « عربون »
Al- Farasiy      :
Membolehkan tanda fathah pada nun ((ن), sebagai alamat nashab pada sebagian Isim jamak salim dengan syarat yang mengiringinya adalah khusus huru “f ya’ “ ( ي ) bukan wau (و )  seperti “« جاء البنينُ » atau dalam hadits : « اللهم اجْعَلْها عليهم سنيناً كسنينِ يوسف

Ubay bin Ka’ab, ‘Utsman bin Affan , ‘Aisyah, Al-Juhdury, Sa’id bin Jabir,  jama’ah dan Ibnu Katsir  :
Mereka membaca ayat 69 QS Al-Maidah ini dengan ya’ ( ي )  الصابئينMereka menashabkannya. Dan kalimat  ini jelas sebagai bentuk ‘athof “ kepada isimnya « إنَّ » .
Ibnu Haziy      :
Dalam tafsirnya menyatakan bahwa Qiraaat as-Sab’ah dengan wau( و) dalam keadaan rofa’, dan menurtnya “Aisyah pernah mengatakan bahwa kalimat ini terdapat kekeliruan pada  I’rabnya.

Husain Al-Bashori dan Al-Juhri    :
Membaca  الصابِيُون dengan mengkasroh ba’ (ب ) sebelum ya’ kholishoh ( tanpa siddah ) dan meringankan bacaan seperti orang yang membaca يَسْتهزِيُون dengan memurnikan ya’( ي )  nya.

Menurut H. Ahmad Syadali, M.A  dalam bukunya “Ulumul Quran” : 
 Al-Qur’an yang tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah Qira’at. banyak mushaf yang dicetak di belahan dunia Islam sebelah Timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika utara misalnya .karena qira’at yang umum diikuti kedua wilayah ini berbeda . bahkan mushaf-mushaf yang tertulis atas perintah Usman itu tidak bertitik dan tidak berbaris. Karena itu mushaf-mushaf ini dibaca dengan berbagai qira’at . sebagaimana sabda Nabi SAW.
إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرءوا ما تيسر منه
Artinya : “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf ( bacaan) maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah “ HR Bukhari Muslim

Namun demikian perbedaan bacaan dan penulisan kalimat dalam mushaf al-Qur’an, tidak bisa dipandang sebagai suatu kesalahan yang mutlak, meskipun terkadang berpengaruh kepada istimbath hukum, tetapi lebih merupakan khasanah bahasa al-Qur’an , khasanah Ilmu pengetahuan bahkan tekhnologi yang boleh terus digali untuk dipahami dan didalami. Turunnya al-Qur’an melalui perantaraan Malikat jibril yang tidak melalui tulisan itu,sebenarnya  memberikan kesempatan  bagi kita   untuk terus mempelajari dan mendalami bahwa secara cerdas al-Qur’an telah mengajari kita akan kekayaan pola kalimat dan kekayaan gaya bahasa  yang terdapat padanya.
Kembali pada persoalan perbedaan kalimat الصابئينdan الصابئون pada ketiga surat tersebut , secara maknawi tidak terdapat pergeseran maksud , hanya uslubnya  ( gaya bahasa ) saja yang berbeda , sehingga mereka yamg sudah faham mengenai uslub ini tidak terlarang menggunakan gaya bahasa yang mereka anggap lebih mudah dipahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar